Catatan Pinggir dari Warkop: Wartawan Itu Peneliti dan Penjaga Nalar Publik
BukaBaca.ID, Makassar – Di tengah derasnya arus digitalisasi, media daring tumbuh subur seperti jamur di musim hujan. Kemudahan membuat kanal informasi di media sosial melahirkan ribuan pewarta otodidak yang langsung menyematkan gelar “wartawan” pada dirinya. Fenomena ini membawa dampak yang beragam—ada yang menyambut dengan antusias, ada pula yang menyimpan kegelisahan.
Mereka yang pro merasa dimanjakan oleh kecepatan informasi. Namun, yang kontra melihat banyak pewarta baru belum memahami etika, kaidah bahasa, dan prinsip dasar jurnalistik. Tak jarang narasi berita mereka terasa mentah, tata bahasanya keliru, dan wawasan jurnalisme yang ditampilkan pun dangkal.
Sebagai wartawan yang telah menjalani profesi ini sejak era media konvensional, saya kerap menerima pertanyaan dari teman dan masyarakat: “Bagaimana sebenarnya menjadi wartawan yang baik?”
Saya menjawabnya dengan sederhana: “Yang baru, biasanya berlebihan dalam kekurangannya.”
Itu hal yang wajar. Layaknya pemilik mobil baru yang terlalu sering memamerkan kendaraannya, atau pegawai baru yang tampil terlalu percaya diri. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tidak mau belajar dan enggan mengikuti aturan main. Lebih runyam lagi jika mereka berpura-pura paham padahal belum memahami esensi profesi wartawan itu sendiri.
Di setiap kesempatan pelatihan atau ujian calon anggota PWI, saya selalu menitipkan satu hal penting: seorang wartawan sejati harus tahu apa makna kata “wartawan” itu sendiri.
Wartawan bukan hanya tukang tulis. Ia adalah peneliti fakta, pencari kebenaran, dan penjaga nalar publik. Ia harus memahami sejarah pers nasional, etika jurnalistik, hukum pers, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi—curiosity, seperti yang pernah ditekankan oleh almarhum Rahman Arge, tokoh pers nasional.
Seorang wartawan harus mampu mengolah dan memverifikasi informasi sebelum menyebarkannya. Ia tidak boleh bermain-main dengan fakta. Sebab, dari tulisannya, publik membentuk opini. Dari opininya, publik mengambil sikap.
Profesi ini bukan sekadar ajang tampil dan viral, tapi sebuah amanah intelektual dan moral.
Maka dari itu, saya tutup obrolan kecil di warkop sore itu sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula: pahit, tapi jujur. Seperti seharusnya berita yang baik.
Penulis: Andi Pasamangi Wawo
(Ketua Dewan Penasehat PWI Sulsel & Pemimpin Redaksi BUKABACA.ID)


