Jejak yang Terlupakan, Kesemek dan Hilangnya Warisan Halle di Garut

Kesemek dan Hilangnya Warisan Halle di Garut (foto/perpustakaan nasional).

BukaBaca.ID, Garut – Di masa lalu, alun-alun kota Garut pernah menjadi saksi bisu kejayaan pertanian yang melegenda. Di sana berdiri tegak sebuah patung tokoh pertanian asal Belanda, Karel Frederik Holle atau yang akrab disebut Halle oleh masyarakat Sunda yang diabadikan sebagai “Halle mitra noe tani” atau “Halle sahabat petani”.

Namun kini, patung tersebut telah lama menghilang. Jejaknya lenyap entah ke mana sejak zaman pendudukan Jepang. Lebih dari sekadar kehilangan fisik, Garut juga perlahan kehilangan salah satu warisan agung di bidang pertanian: pohon kesemek.

Pada pertengahan abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1865, Halle memperkenalkan tanaman kesemek (Diospyros kaki L.F) ke tanah Garut. Meski berasal dari Tiongkok, bibit pohon ini dibawa Halle dari Jepang. Kesemek tumbuh subur di dataran tinggi Garut, menciptakan lanskap artistik yang memesona, terutama saat pohonnya menggugurkan daun di bulan Agustus, menyisakan ranting-ranting yang tampak seperti lukisan musim dingin Eropa.

Fenomena alam ini sering disandingkan dengan keindahan lanskap bersalju. Dalam hawa dingin pegunungan Garut yang khas, bayang-bayang pohon kesemek gundul menyatu dengan kabut senja menciptakan nuansa mistis yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Bahkan, anggrek-anggrek pandan kerap tumbuh liar di celah rantingnya, memperkuat estetika alami yang menakjubkan.

Sayangnya, seiring berjalannya waktu dan tekanan ekonomi, pohon kesemek digantikan oleh komoditas pertanian lain yang dinilai lebih menguntungkan secara finansial. Lanskap pohon kesemek yang dahulu menjadi pesona visual kini tinggal kenangan. Seiring menghilangnya patung Halle, lenyap pula narasi sejarah pertanian Garut yang pernah berjaya.

Kini, hanya segelintir arsip dan ingatan masyarakat tua yang masih menyimpan cerita tentang Halle dan pohon kesemek. Satu per satu warisan itu terlupakan, tergilas oleh waktu dan modernisasi.

Apakah saatnya Garut kembali menengok ke belakang dan menghidupkan kembali warisan yang nyaris hilang? Sebab dalam nostalgia yang tersisa, terkandung potensi dan identitas yang layak dibangkitkan kembali.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *